Pada suatu ketika, hiduplah seorang penggembala miskin. Setiap hari ia
menggiring domba-dombanya ke bukit mencari rumput segar. Dari sana ia
memandangi desa tempat ia tinggal bersama keluarganya. Ia tuli, tetapi itu
tak jadi masalah baginya.
Suatu hari istrinya lupa mengirim bungkusan makansiangnya; juga tidak
menyuruh anak mereka untuk membawakannya. Sampai tengah hari kiriman itu
tidak datang juga. Si penggembala itu berpikir, "Aku akan pulang dan
mengambilnya. Aku tidak dapat berdiam di sini sepanjang hari tanpa sepotong
makanan." Namun ia tidak dapat meninggalkan domba-dombanya. Tiba-tiba ia
memperhatikan seorang pemotong rumput di tepi bukit. Ia menghampirinya dan
berkata, "Saudaraku, tolong jaga domba-dombaku ini dan awasi jangan sampai
tersesat atau berkeliaran. Aku akan kembali ke desa karena istriku begitu
bodoh lupa mengirim makan siangku."
Ternyata pemotong rumput itu juga tuli. Ia tidak mendengar satu kata pun
yang diucapkan, dan sama sekali salah paham terhadap maksud si penggembala.
Katanya, "Mengapa aku harus memberi rumput untuk ternakmu? Sedangkan aku
sendiri memiliki seekor sapi dan dua ekor kambing di rumah. Tidakkah kau
lihat, aku ini harus pergi jauh demi mencari rumput bagi ternak-ternakku.
Tidak, tinggalkan aku. Aku tidak ada urusan dengan orang sepertimu yang
hanya ingin enaknya sendiri mengambil milikku yang cuma sedikit ini." Ia
menggerakkan tangannya dan tertawa kasar.
Si penggembala tidak mendengar apa yang dikatakan oleh si pemotong rumput.
Katanya, "Oh, terima kasih kawan, atas kebaikkan dan kesediaanmu. Aku akan
segera kembali. Semoga keselamatan dan berkah tercurah atas dirimu. Engkau
telah meringankan bebanku." Ia segera berlari ke desa menuju gubuknya yang
sederhana. Di sana ia mendapati istrinya sakit demam dan sedang dirawat oleh
para istri tetangga.
Kemudian, si penggembala itu mengambil bungkus makanan dan berlari kebali ke
bukit. Ia menghitung domba-dombanya dengan cermat. Semuanya masih lengkap
seperti semula. Ia lalu melihat si pemotong rumput masih sibuk memotong
rumput segar. Si penggembala ini berkata pada dirinya sendiri, "Ah, betapa
luar biasa pribadi si pemotong rumput ini. Benar-benar dapat dipercaya. Ia
sudah menjaga domba-dombaku agar tidak terpencar bahkan tidak mengharapkan
terima kasih dariku. Aku akan memberinya domba pincang ini. Sebenarnya domba
pincnag ini akan kusembelih sendiri, namun biarlah aku berikan pada si
pemotong rumput itu agar bisa jadi makan malam yang lezat bagi keluargnya.
Ia pun memanggul domba pincang yang dimaksud di atas bahunya, menuruni bukit
dan berteriak pada si pemotong rumput, "Wahai saudaraku!, ini hadiah dariku,
karena engkau telah menjaga domba-dombaku selama aku pergi. Istriku yang
malang menderita demam, itulah mengapa ia tidak mengirimkan aku makan siang.
Pangganglah domba ini untuk makan malammu nanti malam; lihat domba ini
kakinya pincang dan memang akan aku sembelih!"
Tetapi disisi lain, si pemotong rumput tidak mendengar kata-katanya dan
berteriak marah, "Penggembala busuk! Aku tidak tahu apapun yang terjadi
selama kau pergi. Jadi jangan salahkan aku atas kaki pincang dombamu! Sedari
tadi aku sibuk memotong rumput, dan tidak tahu mengapa hal itu terjadi!
Pergilah, atau aku akan memukulmu!"
Si penggembala itu amat heran melihat sikap marah si pemotong rumput, tetapi
ia tidak dapat mendengarkan apa yang dikatakannya. Tiba-tiba ada seorang
melintas di antara mereka dengan menunggang seekor kuda yang bagus. Si
penggembala menghentikan si penunggang kuda itu dan berkata, "Tuan
penunggang kuda yang mulia, aku mohon katakan padaku apa yang diucapkan oleh
pemotong rumput itu. Aku ini tuli, dan tidak tahu mengapa ia menolka
pemberianku berupa seekor domba ini, malah marah-marah seperti itu."
Si penggembala dan si pemootng rumput mulai saling berteriak pada si
penunggang kuda untuk menjelaskan kemauannya masing-masing. Si penunggang
kuda itu turun dan menghampiri mereka. Ternyata penunggang kuda itu pun sama
tulinya. Ia tidak mendengar apa-apa yang kedua orang itu katakan. Justru, ia
ini sedang tersesat dan hendak bertanya dimana dirinya saat ini. Tetapi
ketika melihat sikap keras dan mengancam dari ke dua orang itu, akhirnya ia
berkata, "Benar, benar, saudara. Aku telah mencuri kuda ini. Aku megakui,
tetapi aku tidak tahu kalau itu milik kalian. Maafkan aku, karena aku tidak
dapat menahan diriku dan bertindak mencuri."
"Aku tidak tahu apa-apa tentang pincangnya domba ini!" teriak pemotong
rumput.
"Suruh ia mengatakan padaku mengapa pemotong rumput itu menolak
pemberianku," desak si penggembala, "aku hanya ingin memberikannya sebagai
penghargaan tanda terima kasihku."
"Aku mengaku mengambil kuda. Aku akan kembalikan kuda ini."kata penunggang
kuda, "tapi aku tuli, dan tidak tahu siapa di antara kalian pemilik
sesungguhnya kuda ini."
Pada saat itu, dari kejauhan, tampak seorang guru tua berjalan. Si pemotong
rumput lari menghampirinya, menarik jubah lusuhnya dan berkata, "Guru yang
mulia, aku seorang tuli yang tidak mengerti ujung pangkal apa yang
dibicarakan oleh kedua orang ini. Aku mohon kebijaksanaan anda, adili dan
jelaskan apa yang mereka teriakkan."
Namun, si Guru tua ini bisu dan tidak dapat menjawab, tapi ia mendatangi
mereka dan memandangi ketiga orang tuli tersebut dengan penuh selidik.
Sekarang ketiga orang tuli itu menghentikan teriakan mereka. Guru itu
memandangi sedemikian lama dan dengan tajam, satu per satu hingga ketiga
orang itu merasa tidak enak. Matanya yang hitam berkilauan menusuk ke dalam
mata mereka, mencari kebenaran tentang persoalan tersebut, mencoba
mendapatkan petunjuk dari situasi itu.
Tetapi ketiga orang tuli itu mulai merasa takut kalau-kalau guru tua itu
menyihir mereka atau mengendalikan kemauan mereka. Tiba-tiba si pencuri kuda
meloncat ke atas kuda dan memacunya kencang-kencang. Begitu juga si
penggembala, segera mengumpulkan ternaknya dan menggiringnya jauh ke atas
bukit. Si pemotong rumput tidak bernai menatap mata guru tua itu, lalu ia
mengemasi rumputnya ke dalam kantong dan mengangkatnya ke atas bahu dan
berjalan menuruni bukit pulang ke rumahnya.
Guru tua itu melanjutkan perjalanannya, berpikir sendiri bahwa kata-kata
merupakan bentuk komunikasi yang tidak berguna, bahwa orang mungkin lebih
baik tidak pernah mengucapkannya!
(disadur dari "Jalan Sufi" "The Way of Sufi", Idries Shah)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar